Hidup Kadang Sepahit Matcha Tapi Manis pada Ujungnya



“Kali ini aku gagal lagi,” ujar Rima dengan bulir-bulir air mata mengalir di pipinya.
“Tak apa, Allah akan ganti dengan yang lebih baik. Kita tunggu ya,” nasihatku padanya.
“Tidak, aku tidak percaya lagi pada doa-doa duha di pagi hari, pada doa-doa di sepertiga malam. Semuanya sia-sia,” teriaknya.
Di saat seperti ini, ia tidak membutuhkan kata-kata. Ia hanya butuh diberi pelukan paling hangat. Tangisnya semakin kencang di pelukanku. Aku menepuk-nepuk bahunya sambil terus berbisik padanya untuk istigfar. Ia memelukku semakin erat. Bahunya terguncang-guncang.
Rima, mungkin satu di antara sekian banyak orang yang memiliki impian. kutak berani menyebut impian itu di sini. Yang jelas, impiannya itu telah dipupuknya jauh-hauh hari. Namun, takdir belum berpihak kepadanya. Terakhir, hari ini, penolakan kembali memberi kabar untuknya. Hatinya patah. Bahkan, sangat patah kali ini. Ambyar menjadi kepingan-kepingan rapuh yang kupun tak berani menyatukannya.
Aku berkenalan dengannya saat sama-sama sedang menempuh studi S2 di Universitas Indonesia. Kami menghadiri kajian kemuslimaan di Masjid Universitas Indonesia. Saat itu, Rabu gerimis yang tak bersahabat. Karena cuaca itulah, aku mengenalnya.
“Mau ke Stasiun Pocin?” tanyanya.
“Eh, iya, tapi hujan,” ujarku sedih sambil melafazkan Allahumma shoyyiban naafi’an agar hati ini tidak menyalahkan rahmat hujan darinya.
“Yuk, barengan, ku pun mau ke sana,” ajaknya seolah sudah kenal sangat lama.
Sepanjang perjalanan menuju Stasiun Pocin, ia bercerita banyak hal tentang dirinya. Aku kagum padanya karena cara berpikirnya yang modern sebagai seorang muslimah. Darinya, aku menyadari bahwa menjadi perempuan saja tak cukup, Katanya, perempuan harus bisa menyiapkan diri menjadi ibu di masa depan untuk anak-anaknya.
“Makanya, aku melanjutkan pendidikan tinggi ini hingga merantau ke Depok karena perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya,” ujarnya sebelum kami berpisah di depan gerbang Stasiun Pocin (Pondok Cina).
“Kalau kamu mengapa lanjut S2?” lanjutnya.
Aku terdiam. Pada titik ini, aku malu untuk mengakuinya. Aku melanjutkan pendidikan ini karena permintaan kedua orang tuaku. Semua orang di keluargaku setidaknya harus lulus S2. Jika tidak, bersiaplah menjadi bahan obrolan ketika kumpul keluarga tiap tahun.
“Tradisi keluarga,” jawabku singkat.
Ia menepuk bahuku ringan seraya berkata, “Kau beruntung.”
Lalu kami berpisah begitu saja hingga Ramadan membawaku pada perjumpaan berikutnya dengannya. Cerita-ceritanya masih saja mengejutkanku.



Tangisnya hari ini adalah hari pengumuman impian yang sudah menjadi targetnya. Kabar yang membuat hatinya ambyar. Semua rasa yang dipendamnya kini ambyar tak karuan. Ia tak kuat menanggungnya.
“Kak, kita ini hanya manusia yang bisanya hanya berikhtiar lalu berdoa. Gagal ya ikhtiar lagi lalu berdoa lagi. Gitu terus nggak ada habisnya. Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya. Jadi, mari kita akhiri kesedihan ini. Kita tata lagi kepingan-kepingan hati yang ambyar,” nasihatku padanya. Tangisnya mereda. Ia berusaha mengangkat kepalanya.
"Saat ini, Allah ingin memberiku teguran. Ringan sekali. Bisa jadi itu adalah tempat berlabuh terbaik menurut versiku, tetapi menurut Allah tidak baik sama sekali untukku. Aku marah dan kesal karena ditolak, tetapi kusadar bahwa ini adalah bagian dari ketetapan-Nya. Kuanggap hal itu sebagai ujian untuk melangkah lagi. Alhamdulillah, aku menjadi lebih baik sekarang,” ujarnya sambil sesenggukan.
Aku memeluknya kembali. Aku tahu ini tak mudah baginya. Namun, ia memang perempuan yang tangguh dan sangat berpikiran maju. Ia bisa cepat sekali pulih karena ketangguhan dan cara berpikirnya.
“Tak semua harus ada jawabannya sekarang, bukan? Tapi satu hal yang penting bahwa semua kejadian yang menimpa kita adalah ladang muhasabah diri bagi kita untuk menjadi lebih baik,” ujarku menambahkan.
“Beli es krim UI, yuk, aku butuh yang manis-manis untuk kepahitan ini,” ujarnya sambil tertawa.
“Kok matcha,” tanyaku.
“Karena hidup ini pasti ada manis dan pahit. Matcha menyatukannya dengan baik,” ujarnya sambil menggigit ujung es krim di tangannya.
Kesibukan kita di dunia ini sebagai hamba-Nya memang tak pernah lepas dari keharusan untuk terus memperbaiki diri. Setiap peristiwa yang hadir, baik negatif atau postif, semuanya berbuah muhasabah. Tinggal diri kita mau tidak untuk mengulum pahitnya muhasabat itu. Atau jangan-jangan kita hanya mau manisnya saja. Tentu tidak bukan?
“Kali ini aku yang traktir,” ujarnya. Begitu mudahnya senyum terbit di wajahnya. Bukan karena es krim matcha di tangannya, melainkan karena kembang gula yang mekar di hatinya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Raport Tenaga Kependidikan sebagai Media untuk Melakukan Inovasi Pendidikan di Indonesia

Bikin Pantun Asyik Pakai Canva

SALINDIA ANEKA TOPIK