Jreng
Judul :
Jreng
Penulis :
Putu Wijaya
Penerbit :
Basa Basi
Tahun Terbit : 2018
Harga Buku :
Sitaan dari Perpustakaan
Buku ini secara resmi menjadi milik saya
sebagai pengelola perpustakaan. Buku ini dinyatakan tidak lolos sensor karena mengandung
kata atau kalimat tidak senonoh untuk dibaca oleh anak-anak SMP atau SMA,
terutama anak Boarding School. Istilah yang menyebabkan tidak lolos sensor
adalah telanjang, memek, payudara, paha, celana dalam, dan eksplorasi perempuan
pada umumnya.
Jreng adalah buku
kumpulan cerpen. Ada 37 cerita. Semua cerita yang dibawakan oleh Putu Wijaya
memang benar-benar khas Putu Wijaya. Secara keseluruhan, cerita pendek ini
digunakan oleh Putu Wijaya sebagai kritik sosial untuk kehidupan terutama
pemerintah dan politik di Indonesia. Dalam cerita pende berjudul “Zetan”,
cerita bukan tentang kehidupan setan, melainkan tentang kehidupan manusia.
Paragraf-paragraf yang ditulis sangat panjang. Bahkan ada satu paragraf satire
dari penulis tentang Indonesia.
“Terus saja ke situ! Kalau Bapak melihat
jalan yang penuh dengan orang demo setiap hari dengan segala macam tuntutan,
itu dia. Kalau Bapak lihat ratusan hektar hutan terbakar, ratusan hektar desa
dilanda banjir, itu dia. Kalau Bapak lihat murid-murid sekolah keluar dari
kelas berpesta narkoba dan berkelahi sampai mati di jalanan, itu juga…”
Yah, Putu Wijaya benar-benar mengkritik
melalui cerita pendek yang ia tulis. Namun, ada satu cerita pendek yang sangat
saya sukai, yaitu yang berjudul “Guru”. Cerita pendek ini berkisah tentang
orang tua yang tidak ingin anak tunggalnya menjadi seorang guru di masa depan
karena guru tidak menghasilkan uang. Segala cara dicoba oleh orang tuanya untuk
menggagalkan cita-cita anaknya. Akhirnya, anaknya tetap menjadi guru. Namun,
guru bagi sekitar 10 ribu orang pegawai dan 100 ribu karyawan. Guru bagi
anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan
negara karena jasa-jasanya menularkan etos kerja. Ia pun disebut sebagai guru
bagi kedua orang tuanya.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang mudah
sekali dipahami. Saya bisa mengikuti alurnya dengan baik. Sayangnya, buku ini
terlalu banyak kata-kata 17+ yang tidak bisa dibaca oleh generasi yang baru
tumbuh, misalnya jenjang SMA. Buku ini bagus untuk pembaca usia 17 tahun ke
atas.
Guru memerlukan hati seorang guru (Wijaya,
2018:31).
Kita boleh memimpikan, merindukan,
mengharapkan apa saja yang terindah, terideal, tetapi apa yang kemudian
tergenggam di tangan, itulah yang terbaik buat kita, jadi kuncinya hanya satu,
ikhlas. (Wijaya, 2018:48)
Putra-putriku, hakikat hidup itu
tantangan, tugasmu berjuang, kerja adalah ibadah (Wijaya, 2018:72)
Kamu memerlukan keikhlasan. Kamu harus
ikhlas. Ikhlas berarti kamu tulus. Tulus berarti kamu harus rela. Rela untuk
berkorban. Kamu harus mengorbankan apa yang diperlukan. Kamu tidak akan bisa
sukses kalau kamu tidak berani berkorban dengan ikhlas, Merdeka (Wijaya,
2018:82)
Punya impian paling tidak membuat ada
arah yang pasti di tengah kebingungan dunia yang edan ini (Wijaya, 2018:113)
Orang yang beruntung memang tidak
pernah merasa. Kalau sudah malang baru orang lain kelihatan lebih beruntung.
(Wijaya, 2018:171)
Terlalu banyak yang sudah kamu lihat.
Akhirnya kamu tidak benar-benar melihat apa yang sedang kamu lihat. Kamu juga
tidak benar-benar mengalami apa yang sedang kamu alami. Kamu terlalu sibuk
membanding-bandingkan, Mister (Wijaya, 2018:335)
Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya
mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi, apa yang diajarkannya, tetap
tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang, dan memberi inspirasi kepada
generasi di masa yang akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak (Wijaya, 2018:356)
Komentar
Posting Komentar